Jumat, 06 Desember 2013

Browse » home» » » » PENGENDALIAN HAMA TERPADU

PENGENDALIAN HAMA TERPADU


karena pertumbuhan jumlah penduduk masih tinggi. Hama dan penyakit adalah salah satu kendala program peningkatan produksi padi. Kendala peningkatan produksi akan semakin kompleks akibat perubahan iklim global.
Hama dan penyakit padi merupakan salah satu cekaman biotik yang menyebabkan senjang hasil antara potensi hasil dan hasil aktual, dan juga menyebabkan produksi tidak stabil. Di Asia Tenggara hasil padi rata-rata 3,3 t/ha, padahal hasil yang bisa dicapai 5,6 t/ha. Senjang hasil tersebut disebabkan oleh penyakit sebesar 12,6% dan hama 15,2% (Oerke et al. 1994). Di Indonesia, potensi hasil varietas padi yang dilepas berkisar antara 5-9 t/ha (Suprihanto et al. 2006), sementara hasil nasional baru mencapai rata-rata 4,32 t/ha (BPS 2001).

Luas serangan hama dan penyakit padi berdasarkan kompilasi data Statistik Pertanian IV (SP IV 2006) oleh Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir adalah tikus 152.638 ha/th, penggerek batang 89.048 ha/th, wereng coklat 26.542 ha/th, penyakit hawar daun bakteri 28.808 ha/th, penyakit tungro 13.327 ha/th dan blas 9.674 ha/th. Estimasi kehilangan hasil padi oleh hama dan penyakit utama mencapai 212.948 t GKP/musim tanam (Soetarto et al. 2001). Oleh sebab itu, keenam hama dan penyakit penting ini perlu mendapatkan prioritas penanganan. Kehilangan hasil tersebut jauh lebih rendah dari estimasi hasil survei di daerah tropis Asia yang memperkirakan mencapai 37% (IRRI 2002).
Usaha peningkatan produksi padi nasional secara berkelanjutan, khusus-nya melalui peningkatan stabilitas hasil, masih berpeluang besar melalui: 1) penggunaan sumber daya genetik untuk perbaikan ketahanan varietas tehadap hama dan penyakit, 2) peningkatan peran musuh alami hama dan pernyakit sebagai agens pengendali hayati, 3) pemanfaatan beragam spesies tanaman yang potensial sebagai pestisida nabati yang efektif dan ramah lingkungan, 4) penyempitan kesenjangan antara potensi hasil (hasil pada saat varietas dilepas) dengan hasil yang dicapai petani, 5) penekanan kehilangan hasil prapanen oleh hama dan penyakit masih di atas 15%, 6) peningkatan pemahaman epidemiologi penyakit dan ekologi hama yang akan menghasilkan komponen teknologi baru pengendalian hama terpadu (PHT).
Dalam tulisan ini diuraikan dinamika hama dan penyakit tanaman padi yang menyebabkan ketidakstabilan produksi padi, komponen teknologi pengendalian yang telah dikembangkan, konsep dan implementasi PHT di Indonesia, dan insentif (keuntungan) yang diperoleh dari penerapan PHT.
DINAMIKA HAMA DAN PENYAKIT
Populasi hama dan patogen penyebab penyakit tanaman padi sangat dinamis karena potensi genetik dan pengaruh lingkungan biotik dan abiotik. Pada dasarnya semua organisme yang dalam keadaan terkendali tidak merugikan jika keseimbangan ekologinya tidak terganggu.
Hama dan penyakit tanaman berasal dari lokasi pertanaman atau datang (migrasi) dari lokasi lain karena daya tarik tanaman padi. Pengetahuan tentang dinamika populasi hama dan patogen penyakit adalah langkah pertama yang perlu ditempuh untuk menentukan cara pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan.
Revolusi Hijau, Hama Penyakit Tanaman Padi,
dan Lingkungan
Revolusi Hijau di Indonesia diawali oleh introduksi varietas padi unggul baru (VUB) IR5 dan IR8 yang responsif terhadap pemupukan, terutama nitrogen. VUB ini akan menghasilkan gabah 2-3 kali lipat lebih tinggi dari hasil varietas lokal kalau dipupuk urea pada takaran tinggi (200-300 kg urea/ha). Penanaman VUB berumur genjah sampai sedang dan rakus terhadap pemupukan memfasilitasi peningkatan intensitas tanam. Intensifikasi penanaman VUB secara terus-menerus mengalterasi fisiko-kimia tanah dan iklim mikro. Maka, timbullah biotipe baru hama dan patotipe baru patogen. Pengendaliannya lebih banyak menggunakan pestisida. Brigade-brigade pengendali hama dan penyakit dibentuk di area Bimas untuk menyemprot pestisida satu, dua, bahkan tiga kali dalam seminggu. Musuh alami hama ikut punah karena aplikasi pestisida yang berlebihan. Modernisasi teknologi mengakibatkan sistem produksi padi masuk ke dalam jebakan kompleksitas pengelolaan hama yang tidak terbayangkan sebelumnya (Tri Pranadji et al. 2005).
Intensifikasi produksi padi sawah untuk meningkatkan produksi agar dapat memenuhi kebutuhan beras yang terus meningkat ternyata menyebabkan degradasi lingkungan, antara lain polusi air (residu pestisida) dan udara (emisi gas metan) (Balingtan 2008). Konsentrasi residu pestisida dan agrokimia lain telah diidentifikasi pada perairan wilayah irigasi Jatiluhur (Fagi 2006) dan sentra-sentra produksi lain. Balai Penelitian Lingkungan Pertanian telah menginventarisasi residu pestisida di sentra-sentra produksi padi (Balingtan 2008). IRRI (1993) meneliti secara sistematis residu pestisida dan dampaknya terhadap kesehatan petani di Provinsi Laguna, Nueva Ecija, dan Quezon. Kesimpulan dari hasil penelitian itu, adalah:
•     Residu nitrat ditemukan di dalam air sumur yang digunakan sebagai air minum; konsentrasi nitrat masih di bawah konsentrasi maksimum yang diizinkan (10 ppm).
•     Perairan di Laguna mengandung residu carbofuran dan endosulfan; konsentrasi residu pestisida tersebut lebih rendah di Nueva Ecija, karena petani menggunakan pestisida tidak berlebihan.
Walaupun residu pestisida di sentra-sentra produksi terdeteksi di perairan dan bahkan di dalam butir beras di pasar-pasar induk, dampaknya terhadap kesehatan tidak dipelajari secara jelas. Di sentra-sentra produksi padi di Filipina, di mana petani menanam 2-3 kali padi dalam setahun, ditemukan bahwa (IRRI 1993):
•     dari 152 petani padi, mereka yang sering menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama menderita gangguan kesehatan dua kali lebih banyak dibanding dengan yang jarang menggunakan pestisida (Gambar 1),
•     walaupun makin seringnya penyemprotan pestisida lebih menjamin keberhasilan intensifikasi padi, tetapi biaya yang dikeluarkan untuk menyembuhkan kesehatan itu lebih besar dari keuntungan yang diperoleh.
Selain hama wereng coklat, wereng hijau, penggerek batang dan penyakit hawar daun bakteri dan blas, hama tikus makin merajalela akibat modernisasi teknologi padi sawah dan padi gogo. Dengan modernisasi teknologi, keter-sediaan pakan makin memungkinkan reproduksi tikus meningkat dalam setahun.
Gambar 1.    Perbandingan insiden penyakit yang diderita oleh petani yang sering menggunakan pestisida dan yang jarang menggunakannya di Laguna, Nueva Ecija dan Quezon, Filipina (IRRI 1993).
Faktor Penentu Dinamika Hama dan Penyakit
Musim Tanam
Pada musim kemarau, hama dan penyakit padi yang umumnya timbul berdasar- kan tingkat keparahannya adalah tikus, diikuti oleh penggerek batang, dan walang sangit. Oleh karena itu, langkah-langkah pengendalian dititikberatkan pada hama tikus.
Pada musim hujan, hama dan penyakit yang biasa timbul adalah tikus, wereng coklat, penggerek batang, lembing batu, penyakit tungro, blas, hawar daun bakteri, dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan. Dalam keadaan khusus, hama dan penyakit berkembang di luar kebiasaan tersebut. Misalnya pada musim kemarau yang basah, wereng coklat dapat juga menjadi masalah bagi varietas rentan (Hendarsih et al. 1999).
Stadia Tanaman
Pada periode bera, larva penggerek batang berada di dalam singgang dan adakalanya singgang terinfeksi virus tungro, dan berbagai penyakit yang disebab-kan oleh bakteri. Di dalam jerami bisa juga terdapat sklerotia dari beberapa penyakit jamur. Tikus bisa berada di tengah-tengah tanaman lain atau bersembunyi di tanggul irigasi. Pada lahan yang cukup basah, keong mas juga dapat ditemukan. Semua hama dan penyakit pada saat bera bisa menjadi sumber hama dan penyakit pada pertanaman berikutnya.
Di persemaian dapat dijumpai tikus, penggerek batang, wereng hijau, bibit terinfeksi tungro, dan telur siput murbai.Hama dan penyakit pada stadia vegetatif adalah siput murbai, ganjur, hidrelia, tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, lembing batu, tungro, penyakit hawar daun bakteri, dan blas daun. Pada stadia generatif biasanya ada tikus, penggerek batang, wereng coklat, hama penggulung daun, ulat grayak, walang sangit, lembing batu, tungro, penyakit hawar bakteri, blas leher dan berbagai penyakit yang disebabkan oleh cendawan.
Budi Daya Padi
Budi daya tanaman padi dalam usaha peningkatan produktivitas mem-pengaruhi keberadaan hama dan penyakit. Pengolahan tanah, pembersihan gulma dan singgang, pemupukan berimbang, pengaturan jarak tanam, pengairan, dan pemeliharaan ikan dapat mengurangi serangan beberapa hama dan penyakit padi. Pengairan berselang selain meningkatkan hasil panen juga mengurangi serangan penyakit padi. Namun bisa juga budi daya padi mempunyai pengaruh ganda yang berlawanan, yaitu pada satu sisi meningkatkan hasil panen, di sisi lain merangsang perkembangan hama dan penyakit. Introduksi varietas unggul di awal 1970 telah meningkatkan produksi padi yang tinggi, tetapi ledakan wereng coklat pada dekade 70an diduga terjadi karena adopsi varietas unggul yang peka terhadap wereng coklat dan responsif terhadap pemupukan (Mochida et al. 1980). Demikian juga ledakan penggerek batang padi putih pada dekade 90an, diduga disebabkan oleh luasnya pertanaman IR64 dan penyimpangan iklim (Hendarsih et al. 2000).
Musuh Alami
Pada pertanaman padi banyak sekali organisme berguna yang dapat menekan populasi hama dan patogen penyakit. Berbagai jenis laba-laba sangat berguna dalam memangsa berbagai serangga hama (Widiarta et al. 2001). Selain itu parasitoid berfungsi menekan peningkatan populasi hama serangga. Parasitoid telur wereng coklat Anagrus spp. danOligosita spp. berfungsi menekan ledakan wereng coklat secara alami. Selain itu di lapangan terdapat bakteri antagonis yang dapat menekan cendawan penyakit hawar pelepah daun (Sudir dan Suparyono 2000). Banyak entomopatogen yang secara tidak disadari ikut mengendalikan serangga hama, dan dapat dibiakkan untuk pengendalian secara hayati.
Tindakan Pengendalian
Pengendalian terhadap satu jenis hama dapat menimbulkan populasi yang asalnya tidak penting. Ledakan ganjur di Pantai Utara Jatiluhur pada tahun 1970an diduga karena gencarnya penyemprotan pestisida dari udara sejak 1968. Beberapa insektisida ternyata sangat toksik terhadap banyak fauna, termasuk musuh alami yang populasinya tertekan, sehingga populasi hama terus bertambah dan berubah menjadi hama yang resisten terhadap insektisida yang bersangkutan. Beberapa insektisida bukan saja berspektrum luas (broad spectrum) tetapi juga memicu perkembangan populasi (resurjensi). Hal tersebut terjadi pada wereng coklat, sehingga melahirkan Inpress No. 3 th 1986, tentang larangan 57 jenis insektisida. Adopsi varietas tahan adalah cara pengendalian yang paling aman terhadap lingkungan. Namun jika satu varietas tahan ditanam secara terus-menerus pada areal luas yang akan menyebabkan perubahan biotipe hama atau ras patogen penyakit. Untuk wereng coklat, perubahan biotipe menuju yang lebih ganas berlangsung sangat cepat, sebab kebanyakan varietas tahan diatur oleh gen monogenik. Tekanan terhadap populasi wereng sangat tinggi sehingga cepat berubah menjadi biotipe yang lebih virulen. Wereng hijau cepat beradaptasi dengan varietas baru sehingga dalam beberapa waktu musim tanam, varietas yang semula tidak tertular tungro menjadi rentan tungro, karena sifat ketahanan yang dimiliki adalah tahan wereng hijau. Varietas tahan blas cepat sekali menjadi rentan, karena ras blas di lapang cepat berubah dan menyesuaikan diri dengan varietas yang baru diintrodaksi. Luasnya pertanaman IR64 menyebabkan varietas ini diinfeksi parah oleh bakteri hawar daun. Dengan demikian diketahui bahwa pengendalian hama dan penyakit tidak bisa mengandalkan satu cara pengendalian.
Pola Tanam
Pada lahan beririgasi teknis, pengairan dapat diatur sehingga waktu tanam dapat ditentukan dan waktu tanam menjadi serempak. Tanam serempak dapat mengurangi serangan berbagai hama dan penyakit. Pengendalian tungro dengan waktu tanam tepat dan pergiliran varietas tahan dapat diterapkan pada lahan pertanaman serempak seperti di Sulawesi Selatan (Sama et al. 1991). Pada lahan yang penanamannya tidak serempak, pertanaman musim hujan setelah kekeringan paling rawan terhadap eksplosi hama dan penyakit, terutama setelah pertanaman MK II. Hama dan penyakit yang berpotensi eksplosif pada musim hujan setelah kekeringan adalah wereng coklat dan tungro. Kegagalan pengendalian tikus pada dua musim tanam sebelumnya akan memperparah serangan tikus pada musim hujan. Apabila dilakukan penanaman pada MK II maka akan terjadi akumulasi populasi. Pada kondisi tersebut keberhasilan pengendalian tikus pada musim hujan (sebelum MK I) berdampak terhadap keberhasilan pengendalian tikus pada MK I dan MK II, kemudian berlanjut pada musim hujan. Jika pengendalian tikus pada awal musim hujan sebelum kekeringan kurang baik, akan menyebabkan kegagalan berantai sampai musim hujan setelah kekeringan.
Di beberapa tempat, walaupun beririgasi teknis karena alokasi air yang terbatas atau kelompok tani kurang berjalan, waktu tanam menjadi tidak serempak. Pada pola tanam tidak serempak, hama yang perlu diamati adalah tikus, terutama pada musim kemarau. Ketidakserempakan tanam memberikan kesempatan bagi tikus untuk bereproduksi (breeding period) dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu, pengendalian tungro dengan pergiliran varietas berdasarkan ketahanan terhadap wereng hijau kurang berhasil karena selalu ada tanaman yang muda, tempat wereng hijau berkembang menularkan virus tungro.
IMPLIKASI DARI KONSEP PHT
Konsep PHT muncul sebagai tindakan koreksi terhadap kesalahan dalam upaya pengendalian hama. Sejak ditemukannya pestisida sintetik pada tahun 1940an (Muller and Borger 1946), penggunaan pestisida sangat intensif untuk me-ngendalikan hama. Penggunaan pestisida yang intensif memang telah mem-berikan kontribusi terhadap peningkatan produksi pertanian, tetapi juga berdampak negatif, yaitu menimbulkan resisten dan resurjen beberapa jenis hama, mematikan organisme bukan sasaran, termasuk musuh alami hama, dan residu pestisida yang berbahaya terhadap kesehatan manusia dan ternak. Konsep PHT dicetuskan dalam panel ahli FAO di Roma pada tahun 1965 (FAO 1966). PHT adalah suatu sistem pengendalian hama berdasarkan pemahaman terhadap dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama di bawah ambang yang menyebabkan kerusakan yang bernilai ekonomi. Beberapa jenis hama hanya dapat dikendalikan dengan baik perpaduan komponen teknik pengendalian.
Kelestarian lingkungan mendapat perhatian dari pemimpin dunia dalam the World Food Summit yang diselenggarakan oleh FAO di Roma, Italia, pada 13-17 November 1996. Deklarasi Revolusi Hijau Baru (the New Green Revolution) disertai catatan bahwa pelaksanaannya pada lahan marjinal harus memper-hatikan lingkungan dengan belajar ke Revolusi Hijau pertama (FAO 1996). Bank Pembangunan Asia mendukung gagasan Revolusi Hijau Baru dengan me-nambahkan kata greener (ADB 2000). Bagaimana mengimplikasikan the Greener Green Revolution itu?
Jauh sebelum the World Food Summit diselenggarakan, ilmuwan mulai memperhatikan dampak penggunaan pestisida yang berlebihan dan tidak aman terhadap kesehatan manusia. Konsep PHT ditawarkan sebagai metode pengendalian hama penyakit (pest) yang lebih murah dan aman. Strategi PHT memerlukan keilmuan yang mengendalikan kombinasi antara penelitian strategis dan terapan untuk menginvestigasi faktor ekologis yang mem-pengaruhi hama penyakit, merancang, dan mengevaluasi metode pengendalian baru (IRRI 1993). Penerapan PHT juga bergantung pada partisipasi petani dan kebijakan pemerintah. Sebab itu, penerapan PHT dilakukan dengan Sekolah Lapang PHT (SL-PHT).
Persepsi tentang PHT
PHT diintroduksi ke Indonesia dalam program Bimas pada MT 1976, karena serangan wereng coklat pada MT 1975. Sejak saat itu PHT mulai diwacanakan, karena implementasi konsep PHT masih belum jelas dan masih dalam validasi di lapang. Penerapan PHT pada MT 1986 dimulai dengan pencabutan izin peredaran beberapa pestisida, dan pencanangan Supra Insus dengan 10 jurus paket D-nya, yaitu: (1) penanaman VUB, (2) penggunaan benih bersertifikat, (3) pengolahan tanah sempurna, (4) populasi tanaman 200.000/ha, (5) pengairan yang cukup, (6) pemupukan berimbang, (7) pemberian pupuk pelengkap cair (PPC) atau zat pengatur tumbuh (ZPT), (8) penerapan PHT, (9) pola tanam yang sesuai, dan (10) pengelolaan pascapanen yang baik. Bahkan, 10 jurus paket D itu dipandang sebagai teknologi PHT itu sendiri (komunikasi pribadi dengan Dudung A. Adjid, mantan Direktur Jenderal Tanaman Pangan).
Para entomologis dan fitopatologis menetapkan lima strategi PHT, yaitu: (1) sanitasi lingkungan di sekitar pertanaman, (2) penggunaan VUB tahan hama penyakit, (3) penanaman serempak, (4) penerapan pola tanam (untuk me-mutus siklus hidup hama dan patogen penyebab penyakit, dan (5) penggunaan pestisida secara bijaksana. Dalam pelaksanaannya, PHT kemudian disalahartikan identik dengan zero pesticides, karena pemberian pestisida secara bijaksana tidak diajarkan dalam SL-PHT. Pengertian bahwa PHT identik dengan zero pesticide tidak relevan dengan kenyataan di lapang. Kalau penanaman serempak pada waktu yang tepat dimaksudkan agar stadia kritis tanaman padi jatuh pada saat populasi musuh alami tinggi, waktu tanam di lapang ditentukan oleh golongan tanam (golongan alokasi air irigasi). Kalau suatu kawasan mendapat jatah air pada saat puncak penerbangan ngengat, penanaman akan berisiko, terutama jika populasi musuh alami penggerek batang rendah. Sampai saat ini belum ada varietas padi yang tahan terhadap penggerek batang. Dalam keadaan demikian, pestisida harus disemprotkan dengan memperhatikan ambang kendali penggerek batang.
Keterkaitan antara komponen 10 jurus paket D dengan komponen strategi PHT ditunjukkan dalam Tabel 1. Dalam 10 jurus paket D hanya penanaman VUB dan pola tanam yang identik dengan komponen strategi PHT. Penggunaan benih bersertifikat dan pengelolaan pascapanen yang baik secara tidak langsung berkaitan dengan kualitas benih dan kemurnian VUB. Pengolahan tanah sempurna secara tidak langsung memfasilitasi penanaman serempak. Pemupukan dan pengairan cukup akan membuat tanaman padi kuat menghadapi ancaman penyakit. Populasi tanaman dengan penanaman yang ditata seperti tegel dimodifikasi dengan penanaman menurut jajar legowo. Cara tanam demikian membuat tanaman lebih terbuka, permukaan kanopi tidak rata dan tiupan angin menimbulkan turbulan, sehingga iklim mikro diperkirakan menjadi kurang sesuai bagi perkembangan patogen penyebab penyakit.
Tabel 1.  Keterkaitan antara komponen 10-jurus paket-D dengan komponen strategi PHT.

Strategi PHT
Komponen 10-jurus paket-D
Sanitasi
Penanaman VUB
Penanaman serempak
Penerapan pola tanam
Penggunaan pestisida (bijaksana)
1.
Penanaman VUB

VVV



2.
Penggunaan benih bersertifikat

VV



3.
Pengolahan tanah sempurna
V

V


4.
Populasi tanaman ³ 200.000 per ha

V



5.
Pengairan cukup

V



6.
Pemupukan berimbang

V



7.
Pemberian PPC atau ZPT

V



8.
Penerapan PHT
VVV
VVV
VVV
VVV
VVV
9.
Pola tanam yang sesuai



VVV

10.
Pengelolaan pasca panen yang baik

V



VVV  = keterkaitan kuat
VV   = keterkaitan sedang
V   = keterkaitan lemah
Implikasi dalam Penelitian
Karakterisasi Kendala Hama Penyakit
Hama utama yang menjadi kendala intensifikasi padi adalah tikus, penggerek batang, wereng coklat, dan wereng hijau (vektor penyakit tungro). Penyakit utama adalah hawar daun bakteri, tungro, dan blas pada padi gogo. Di dalam setiap daerah geografis di mana pengelolaan hama penyakit akan diperbaiki atau PHT akan diterapkan, perlu karakterisasi dan diketahui domain penelitian dan pengembangan, dan selanjutnya untuk ekstrapolasi teknologi. Karakterisasi juga perlu untuk mengumpulkan data lapang yang reliabel dan representatif, pendekatan yang umum untuk mengumpulkan data dari contoh yang ditetapkan dalam survei.
Survei adalah cara untuk mengkarakterisasi kendala produksi, yang berisi informasi tentang sistem perlindungan tanaman. Sistem produksi tanaman padi adalah kompleks sehingga banyak indikator yang perlu dikarakterisasi. Setiap lahan pertanaman padi dapat dipandang sebagai kenyataan yang unik dari kombinasi banyak penanda. Penanda itu termasuk tanaman, lingkungan biofisik, hama penyakit dan petaninya, yang pengelolaan atau aktivitasnya mempengaruhi seluruh sistem produksi tanaman. Di antara penanda yang penting adalah (Savary et al. 1996):
•     Situasi dari produksi ~ menggambarkan pengaruh faktor-faktor fisik, biologis dan sosial-ekonomi terhadap produksi.
•     Kerusakan dan kehilangan ~ kerusakan adalah fakta yang dapat diukur karena aktivitas biologis hama penyakit.
•     Potensi hasil yang dapat dicapai dan hasil aktual ~ potensi adalah hasil yang diberikan oleh genotipe tanaman dalam keadaan lingkungan yang optimal, tetapi di lapang dihambat oleh ketersediaan air, pemupukan, cahaya matahari atau suhu yang bersifat suboptimal bagi proses fisiologi tanaman.
•     Presisi vs akurasi ~ pengukuran harus teliti dan akurat; standar deviasi sekitar 20% adalah normal dicapai dalam survei tanaman biji-bijian.
Protokol survei supaya disiapkan sebelum berangkat, dan dipahami oleh semua petugas survei (enumerator). Tujuan pembuatan protokal, adalah:
(1)   mengkarakterisasi pola pertanaman untuk mendapatkan secara garis besar deskripsi yang wajar tentang situasi produksi,
(2)   mengkarakterisasi kombinasi hama penyakit yang mungkin dijumpai di lokasi survei,
(3)   menentukan keterkaitan antara situasi produksi dan insiden yang diakibatkan oleh hama penyakit,
(4)   menentukan cara mengatasi masalah dan kendala yang disebabkan oleh kombinasi hama-penyakit yang menyebabkan variasi dari hasil aktual.
Dari hasil survei ini ditentukan secara hipotesis komponen strategi PHT yang paling diperlukan untuk menentukan jenis dan lokasi pengembangan hama penyakit.
Penekanan Potensi Epidemis Penyakit
Dari hasil survei akan diketahui sebaran penyakit dan potensi epidemisnya. Di antara penyakit yang potensi epidemisnya harus diwaspadai adalah tungro. Jadi, epidemiologi adalah satu bidang studi PHT (IRRI 1993).
Tungro muncul lebih awal, tetapi cepat tersebar dengan insiden penularan yang lebih besar dan luas pada musim hujan dibanding musim kemarau. Inokulum primer berpengaruh nyata terhadap dinamika penyakit ini. Pencabutan tanaman sakit dan menggantinya dengan tanaman sehat tidak mengurangi insiden penyakit. Cara yang praktis untuk mengurangi penyakit tungro adalah pergiliran varietas dan penanaman varietas tahan virus tungro.
Ketahanan terhadap Hama Penyakit
Tanaman yang secara genetik tahan terhadap hama penyakit disebut host plant resistance, yaitu faktor kunci dalam mengurangi penggunaan pestisida dalam reproduksi padi (IRRI 1993).
Populasi hama penyakit berubah dari waktu ke waktu, sementara daya tahan varietas secara genetik bisa turun, sedangkan biotipe hama dan patotipe penyakit dapat menyesuaikan diri dengan ketahanan varietas yang baru dilepas. Oleh sebab itu, pemuliaan padi tidak akan pernah berhenti untuk mengantisipasi dinamika populasi hama penyakit. Jadi, pemuliaan adalah bagian dari penelitian yang berwawasan PHT. Gambar 2 adalah contoh menurunnya hasil IR8 setelah 5-6 tahun dilepas. Persilangan dengan varietas lain untuk memperbaiki daya tahan IR8 menghasilkan varietas-varietas baru, sehingga mengembalikan potensi genetik yang diwariskan IR8.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar